Malam-malam kita tak lagi seperti dulu, yang syahdu di bawah lantunan tilawah imam-imam tarawih. Penghujung malam kita pun tak seperti dulu lagi, yang larut dalam tahajud panjang, lalu merengguh keberkahan sahur, sembari zikir dan istighfar di sela-sela sisa waktunya.
Saat Shubuh tiba, masjid terlihat lebih padat dibandingkan waktu shubuh di luar Ramadan. Selepas sholat, sebagian makmum lebih memilih duduk berzikir menanti syuruq, mereka berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah, yang disempurnakan dengan mengerjakan sholat sunah dua rakaat.
Sholat kita pun tak seperti dulu, yang lebih semangat memburu lima waktu jama’ah di masjid. Mengejar untuk mengkhatamkan Al Quran berulang kali, berlama-lama di masjid untuk satu, dua atau bahkan tiga juz Al Quran setiap hari.
Sore kita, tak lagi disibukkan dengan zikir petang dan doa. Dulu kita larut dalam detik mustajab menjelang masuknya waktu Maghrib. Menikmati dua ganjaran kebahagiaan; bahagia karena berbuka, dan bahagia karena puasa kita menjadi wasilah bermuwajahah dengan Allah Swt. Tapi itu dulu, lantas bagaimana dengan hari ini, pasca Ramadan? Bukankah Rabb yang menjanjikan ganjaran berlipat selama Ramadan, Ia juga Tuhan yang sama ketika di luar Ramadan?
Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini, “
"Kun rabbâniyyan, wa lâ takun ramadhâniyyan" Jangan menjadi manusia Ramadan, yang kuat ibadahnya karena berada di bulan Ramadan saja, karena setelah bulan itu berlalu, ia tak akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertakwa. Namun jadilah manusia alumni Ramadan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertakwa tanpa batas, sesuai target yang diharapkan dari penggemblengan selama sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot ibadahnya terus meningkat, sekali pun ia telah berada di luar bulan Ramadan.