Platform pembangunan mereka memang tebal, 358 halaman. Puluhan doktor memeras serat-serat otak mereka untuk menganalisis problem bangsa yang tumpuk menumpuk. Membedah jasadnya, membentangkan 36 bidang, dari Politik Nasional, Perjuangan nelayan hingga UKM dan Koperasi, untuk diteropongi satuan-satuan peyakitnya, dan diberi obat-obat berdosis yang tidak rendah. Ini pekerjaan sebuah gerakan matang. Ini bukan soal membuat program kerja da'wah untuk RW dan karang taruna, tapi mengelola negara, dengan Platform Pembangunan sebagai asas. Gerakan da'wah pemula belum akan mampu, bukan hanya menggelindingkanya menjadi isu negara, mencoba mengkhayalkannya pun sudah cukup membuat insomnia.
Gerakan da'wah di Eropa, bahkan baru sekedar menghadapi tantangan makanan halal-haram, isu jilbab, urusan muallaf yang harus dibina, belum berfikir bagaimana kader da'wahnya berpartisipasi di dewan apalagi koalisi presiden. Beruntunglah Indonesia, karena diantara gerakan da'wah yang eksis, ada yang sudah mampu bermetamorpofosis menjadi partai yang empat kadernya jadi menteri negara.
Inti keinginan mereka itu, adalah soal realisasi cita-cita bangsa yang ada di UUD dan membangun masyarakat madani yang diridai Allah dan bingkai NKRI. Ini tujuannya, dan politik sarananya pada dekade sekarang, termasuk soal kursi-kursi adalah sebagian kecil mesin mereka dalam realisasi cita-cita. Karena jika dulu mereka bergerak hanya di pinggir-pinggir panggung, sekarang mereka bergerak di tengah panggung, bergandeng dengan aktor utama.
Jika dulu mereka berteriak-teriak diluar benteng DPR, sekarang mereka merumuskan draft UU di ruang-ruangnya, karena nyatanya, cara seperti ini jauh lebih efektif dalam realisasi tujuannya.