Peta Kekuatan dan Pengaruh Iran di Jazirah Arab[1]
“Iran And Israel Are Need Mutual Enmity” [2] Judul tulisan dari seorang kolumnis Al-Hayat, Raghida Dergham, yang dimuat kemarin 15 Oktober 2010. Dalam tulisannya, Raghida Dergham melihat bahwa apa yang dilakukan Ahmadinejad dan Republik Iran dengan menggelindingkan isu dan wacana penghapusan Israel dari peta dunia, begitupun dengan Syiar-syiar yang senantiasa diteriakkan oleh Iran “kematian bagi Amerika” dan “kepunahan bagi Israel”, semua ini tak lain hanya untuk kepentingan Iran dan ambisi ekspansionis, ingin memperluas pengaruh dan menguasai dunia Islam. Begitupun dengan apa yang dilakukan Israel dengan mengangkat wacana Iran sebagai “garis yang berbahaya”, tak lain adalah untuk mendapatkan simpati dan sokongan finansial, dan memperkuat aliansi militernya dengan Amerika Serikat. Ataupun untuk mendapatkan dukungan senjata nuklir dengan ambisi menghegemoni Timur-Tengah.
Dengan kata lain bahwa isu “permusuhan” adalah kebutuhan bagi dua negara tersebut, untuk mendapatkan simpati dan menggalang kekuatan, yang ujung-ujungnya menghegemoni. Dua negara ini sepanjang sejarah kemunculan Israel sampai sekarang tidak pernah terlibat perang dan tidak ada kebutuhan untuk berperang. Dan korban dari isu permusuhan ini tentunya yang pertamanya adalah Palestina dan kedua adalah Libanon.
Dalam buku Madkal Ila As-Saiyasat Al-Kharijiyah Lijumhuriyati Iran Al-Islamiyah, Dr. Bitsin Izdy, menyebutkan salah satu teori politik luar negeri Iran yaitu Menghegemoni Al-Amal Fi Ithari Al-Islam, penulis menerjemahkannya dengan Menghegemoni Dunia Islam. Teori ini melihat pentingnya mendayagunakan umat dengan seluruh kemampuannya demi kehidupan dan pertumbuhan dalam tataran masyarakat internasional, maka mereka menginginkan segalanya demi kepentingan dan kemaslahatan umat. Tujuan dari menjadikan Islam sebagai pegangan adalah untuk mendukung posisi Iran dan untuk mencapai keberhasilan segala aktifitasnya dalam dunia internasional. Ketika Iran melakukan aktifitas internasional di dunia Islam, dan juga mendukung gerakan-gerakan Islam (perlawanan), hal ini akan manjadi kekuatan bagi Iran . Dan pengejewantahan dari ini semua,Iran telah memiliki basis ideologi di Libanon, memberikan bantuan ke Afganistan, Hamas dan memiliki hubungan erat dengan Suriah. Hal ini akan mendukung Iran untuk menancapkan pengaruhnya yang lebih luas.
Cara atau politik seperti ini sama dengan apa yang pernah ditempuh oleh Uni Soviet sebelum keruntuhannya, Soviet pernah menghegemoni karena politik luar negerinya yang “tidak terbatas” dalam memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan atau partai-partai yang berideologi komunis, seperti memberikan dukungan ke Kuba dan seluruh gerakan revolusi komunis di dunia[3], Indonesia termasuk yang pernah menjadi korban dari politik ini, dengan kasus G30S PKI.
Jika Iran telah memiliki basis dukungan di Libanon, maka hal ini akan manjadi pendukung kepentigan Iran di dunia internasional. Dan Iran akan menggunakannya kapan saja, jika Iran menghendaki, atau ketika suatu saat Iran menghendaki Hizbullah untuk menyerang kepentingan negara yang memiliki permusuhan dengan Iran . Dengan kondisi seperti ini, Iran bukan hanya sebatas sebuah negara tapi telah menjadi kekuatan internasional yang menikmati hegemoni dan kekuatan dari luar Iran . Dari sini, maka tujuan dari menjadikan Islam sebagai jargon, membangun basis-basis keislaman (husainiayat) di setiap sudut negeri, memperbanyak pengikut Islam (Syiah), dan mengagum-agumkan pemerintahan Republik Iran, semuanya bertujuan untuk menguatkan hegemoni dan mendukung kepentingan Iran.
Selain sejarah panjang imperium Persia yang pernah berjaya selama berabad-abad, yang mengilhami Iran untuk mengembalikan kejayaan itu, Ambisi menghemoni juga tak lepas dari posisi Iran yang Iran berada di pusat Asia Tengah, tempat pertemuan perdagangan antara Timur Asia dan Barat Daya, dan antara Selatan Timur-Tengah dan pusat negara Asia Tengah dan wilayah belakang Kaukaz. Luasnya mencapai 1,648.000 km2., dan jumlah penduduknya mencapai 70 juta jiwa dan mayoritasnya adalah pemuda, Iran juga menjadi negara terbesar penghasil tambang minyak, dan terbesar kedua setelah Rusia sebagai negara penghasil Gaz. Begitupun dengan bagian Utara laut Kaspia yang kaya dengan tambang dan gaz.
Letak dan posisi dan juga kekayaan alam Iran, serta sumber daya manusia dan kekuatan militernya, hingga Iran tidak dibisa ditinggalkan dalam setiap proyek di kawasan ini “Timur-Tengah”. Baik yang sifatnya keamanan, ekonomi dan politik. Iran juga satu-satunya negara yang mengubah konstitusinya secara fundamental, dari sistem Monarki Absolut ke Sistem Islami, wilayatul fakih, sejak tahun 1979.[4]
Cakar Wilayatul Fakih di Teluk Arab[5]
Sengaja penulis, tidak mengangkat dan membahas kelompok-kelompok Syiah yang sudah sering terdengar, seperti Hizbullah di Libanon, Gerakan Bani Sadr di Irak, dan pemberontakan Houtsi di Sha’da Yaman. Karena rata-rata kita sedikit banyak telah mengetahui perkembangannya. Sementara informasi perkembangan Syiah di Teluk Arab masih kurang. Dan juga penulis ingin menanamkan kesadaran sebagai seorang muslim, untuk bangkit dari “tidur yang nyenyak”, tidak sadar dengan bahaya yang mengancam. Keberadaan Syiah adalah ancaman bagi Muslim, baik ancaman kerusakan aqidah, maupun politik.
Oleh karena itu, penulis ingin menambahkan kesadaran dan maklumat baru ancaman dan perkembangan Syiah, dengan mengulas sedikit tentang gerakan Syiah di Teluk Arab yang barafiliasi ke Wilayatul Fakih Iran, dalam hal ini adalah Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariah. Sebagai kelompok Syiah mayoritas dan dan memiliki payung negara yang notabene menganut paham Wilayatul Fakih.
1. Arab Saudi
Kelompok Syiah di Arab Saudi mendiami wilayah Timur Arab Saudi. Wilayah ini juga disebut wilayah Bahrain, wilayah Bahrain ini mencakup sebagian Kuwait dan Timur Arab Saudi, Bagian Bahrain dan Qatar, dan sebagian wilayah Uni Emirat Arab (UEA). Wilyah inilah yang dikuasai oleh kelompokSyiah Qaramitha[6] sejak akhir abad ketiga di jaman Dinasti Abbasiyah. Dan pada tahun 467 Hijriyah, kerajaan Qaramitha runtuh ditangan Abdullah bin Ali Al-Ayuni, salah seorang tokoh Syiah dari bani Abdul Qais di Bahrain, dengan meminta bantuan kepada Dinasti Saljuk di Bagdad yang dipimpin oleh Malik Shah.
Dan kerajaan ini bertahan sampai tahun 642 Hijriyah, sepeninggalnya perebutan kekuasaan silih berganti. Syiah Qaramitha ini juga pada tahun 317 Hijriyah masuk ke Mekah dan dan membunihi para jemaah haji serta mencuri Hajar Aswad.[7]
Sejak berdirinya Kerajaan Arab Saudi, Syiah Arab saudi dalam kancah perpolitkan dan sistem di arab Saudir tidak menyentuh ranah politik.pada dekade tahun sembilang puluhan terjadi perubahan baru hubungan antara kekuatan oposisi Syiah dan pemerintahan Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi berusaha memenuhi tuntutan Syiah, sebagaimana juga Syiah berusaha secara damai untuk mendapatkan hak-hak kependudukanya secara sempurna. dan lebih khusus saat dengan berkuasanya Revolusi di Iran tahun 1979, kekuatan politik Syiah di Arab Saudi mulai kuat.[8]